Senin, 07 Juli 2025

Cerita Rakyat “Malin Kundang” dari Sumatera Barat

  

Ilustrasi gambar : jawapos.com

Dahulu di sebuah dusun nelayan, tepatnya di Sumatra Barat, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Malin Kundang. Ia tinggal bersama ibundanya, Mande Rubayah. Sang ayah telah lama pergi meninggalkan ibu dan anak semata wayangnya itu.

Malin tumbuh menjadi anak yang cerdas dan pemberani, tapi sedikit nakal. Mereka hidup serba kekurangan. Hingga suatu ketika saat Malin beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari peruntungan di negeri seberang. Dengan harapan nantinya saat kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi saudagar kaya raya.

Malin tertarik dengan ajakan seorang nahkoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya. Tekadnya semakin kuat, Malin meminta izin kepada ibundanya. Mande Rubayah sempat tidak setuju dengan keinginan anaknya, tetapi karena Malin terus mendesak akhirnya ia mengizinkan.

“Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan lupa dengan ibumu dan kampung halamanmu ini, Nak,” pesan dari ibunya.

Ternyata keberadaan Malin di kapal itu sangat disukai. Selain karena ia sangat rajin dan selalu siap menolong, ia juga seorang pekerja keras.

Beberapa tahun berlalu, kini Malin telah menjadi seorang nahkoda yang mengepalai banyak kapal dagang. Ia pun berhasil memperistri salah seorang putri raja yang cantik jelita. Kabar kesuksesannya sampai kepada ibunda Malin. Setiap hari Mande Rubayah menyempatkan diri pergi ke dermaga berharap bisa bertemu putranya, Malin.

Malin Kundang tidak pernah mengirim kabar. Suatu hari, Malin Kundang kembali ke kampung halamannya dengan kapal mewah dan seorang istri yang cantik. Ia telah menjadi orang kaya dan terpandang. 

Hingga suatu ketika, kapal besar Malin bersandar di dermaga. Sang Ibu yang sudah sangat merindukan Malinpun menghampiri dan memeluk Malin. Namun, Malin Kundang malu mengakui ibunya yang miskin dan berpakaian compang-camping. Ia bahkan bersikap kasar dan mengusir ibunya. 

Mande Rubayah sangat sedih dan kecewa. Dengan pilu, ia berdoa kepada Tuhan agar Malin Kundang dihukum atas durhakanya. Tiba-tiba, badai besar datang dan menghantam kapal Malin Kundang. Kapal itu hancur, dan tubuh Malin Kundang perlahan berubah menjadi batu.

Dari cerita rakyat diatas ada pelajaran moral yang dapat kita ajarkan ke anak-anak kita Bunda, yaitu bahwa menjadi seorang anak seharusnya menghormati, menyayangi dan menghargai orang tua bagaimanapun keadaannya.


Cerita Rakyat dari Jawa Timur "Cindelaras"

 

Ilustrasi foto: podtail.com

Cindelaras sebenarnya adalah anak dari seorang pria yang sangat dihormati, yang telah menjadi Raja Jenggala. Namun, Raja Jenggala, yang saat itu berkuasa, tidak menyadari bahwa Cindelaras adalah putranya. Cindelaras dan ibunya terpaksa hidup dalam keadaan terpisah. Meskipun begitu, Cindelaras dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh ibunya.

Cindelaras memiliki seekor ayam jantan yang sangat hebat dalam bertarung. Ayam jantan ini memiliki suara yang sangat keras dan dapat menandingi ayam-ayam terbaik di daerah tersebut. Cindelaras melatih ayam jantannya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Ayam tersebut kemudian menjadi sangat kuat, bahkan mampu mengalahkan ayam-ayam lainnya dalam pertandingan aduan ayam.

Suatu hari, Raja Jenggala mengadakan pertandingan adu ayam besar-besaran di istananya. Cindelaras ingin mengikuti pertandingan tersebut dan memperkenalkan ayam jantannya. Meskipun awalnya dihadapkan dengan banyak keraguan dan tantangan, Cindelaras akhirnya bisa bertanding dengan ayam-ayam milik para prajurit dan orang-orang terhormat di kerajaan.

Dalam pertandingan tersebut, ayam jantan Cindelaras berhasil mengalahkan semua ayam lawan, bahkan ayam yang dikenal paling hebat sekalipun. Raja Jenggala yang menyaksikan pertarungan itu terkesan dan ingin tahu siapa pemilik ayam tersebut. Ketika Cindelaras dihadapkan di hadapan raja, ia tidak takut dan dengan berani mengatakan siapa dirinya.

Ternyata, Cindelaras adalah putra dari Raja Jenggala yang telah lama hilang. Cindelaras dan ibunya akhirnya diakui oleh raja sebagai bagian dari keluarga kerajaan. Raja Jenggala merasa sangat menyesal atas perlakuannya terhadap ibu Cindelaras, dan ia pun meminta maaf. Cindelaras menerima permintaan maaf tersebut, dan pada akhirnya, Cindelaras menjadi seorang pahlawan yang dihormati dan disayangi oleh rakyat.

Minggu, 08 Desember 2024

Belajar Toleransi Sejak Dini pada Anak Usia Dini

Gambaran toleransi anak usia dini. Ilustrasi foto: 1001indonesia.net

Toleransi adalah nilai yang sangat penting dalam kehidupan sosial. Membangun sikap toleransi sejak dini akan membantu anak-anak tumbuh menjadi individu yang mampu hidup berdampingan dengan orang lain, menghargai perbedaan, dan menyelesaikan konflik dengan cara yang damai. Oleh karena itu, pendidikan toleransi pada anak usia dini menjadi hal yang sangat penting dalam membentuk karakter mereka. 

Toleransi perlu diajarkan sejak anak usia dini dikarenakann  pada usia dini, anak-anak mulai mengenal lingkungan sekitar mereka dan berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Mereka mungkin akan menemui perbedaan dalam banyak hal, seperti budaya, agama, bahasa, dan kebiasaan. Toleransi mengajarkan mereka untuk menerima dan menghargai perbedaan tersebut, sehingga mereka dapat beradaptasi dengan baik dalam masyarakat yang majemuk.

Dengan mengajarkan toleransi sejak dini, anak-anak tidak hanya belajar untuk saling menghormati, tetapi juga untuk memahami bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk dihargai dan diterima. Hal ini akan mengurangi potensi konflik yang muncul akibat ketidakpahaman atau prasangka terhadap orang lain.

Toleransi tidak dapat tumbuh sendiri pada diri anak, orang tua perlu mengajarkan toleransi melalui berbagai hal yanng dapat diterima anak. Metode yang diterapkan untuk mengajarkan toleransi ada beberapa hal, yaitu:

  1. Memberikann teladan bagi anak. Anak-anak belajar banyak melalui observasi. Oleh karena itu, orang tua, guru, dan lingkungan sekitar harus memberikan contoh nyata dalam bertoleransi. Misalnya, dengan menghargai perbedaan pendapat, budaya, atau agama dalam interaksi sehari-hari. Jika anak melihat orang dewasa memperlakukan orang lain dengan baik meskipun berbeda, mereka akan meniru perilaku tersebut.
  2. Mengenalkan Keanekaragaman. Anak-anak perlu diberi pemahaman tentang keberagaman yang ada di sekitar mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkenalkan mereka pada cerita-cerita atau buku yang menggambarkan berbagai latar belakang budaya, agama, dan tradisi. Melalui cerita, anak-anak bisa belajar bahwa perbedaan bukanlah hal yang perlu ditakuti, melainkan sesuatu yang harus dihargai.
  3. Mengajak Anak Berbicara tentang Perasaan.  Anak-anak yang belajar untuk mengungkapkan perasaan mereka dengan cara yang baik akan lebih mudah memahami perasaan orang lain. Ajak anak untuk berbicara tentang perasaan mereka ketika berinteraksi dengan teman-teman atau orang lain yang memiliki perbedaan. Misalnya, jika mereka merasa cemas atau bingung dengan perbedaan, bantu mereka untuk mengatasi perasaan tersebut dengan cara yang positif dan penuh pengertian.
  4. Mengajarkan Penyelesaian Konflik dengan Damai, Toleransi juga berkaitan dengan cara menyelesaikan konflik. Ajarkan anak untuk mengatasi perbedaan dan konflik dengan cara yang damai, misalnya dengan berdiskusi atau mencari solusi bersama. Hindari kekerasan atau perilaku agresif saat menyelesaikan masalah, karena ini dapat mengajarkan anak untuk merespons perbedaan dengan cara yang tidak sehat.
  5. Menerapkan Prinsip Keadilan. Anak-anak usia dini juga perlu memahami konsep keadilan. Ajarkan mereka untuk selalu berlaku adil dan tidak membeda-bedakan teman berdasarkan perbedaan yang ada. Misalnya, jika ada teman yang berasal dari latar belakang yang berbeda, anak-anak harus diajarkan untuk tidak mengejek atau merendahkan mereka, melainkan untuk berusaha memahami dan menerima perbedaan tersebut.

Mengajarkan toleransi pada anak usia dini memiliki banyak manfaat, antara lain:

  1. Membentuk Karakter yang Positif. Anak yang diajarkan untuk menghargai perbedaan akan tumbuh menjadi individu yang penuh empati, sabar, dan peka terhadap perasaan orang lain.
  2. Mencegah Diskriminasi. Dengan pemahaman yang baik tentang toleransi, anak-anak akan menghindari sikap diskriminatif terhadap orang lain, yang sering kali disebabkan oleh ketidaktahuan atau ketakutan terhadap perbedaan.
  3. Meningkatkan Keterampilan Sosial. Anak-anak yang belajar toleransi cenderung memiliki keterampilan sosial yang lebih baik. Mereka mampu berinteraksi dengan berbagai tipe orang dan membangun hubungan yang harmonis, tanpa terhalang oleh perbedaan.
  4. Mewujudkan Masyarakat yang Damai. Ketika nilai toleransi diterapkan sejak dini, harapan kita adalah terciptanya masyarakat yang lebih damai dan harmonis. Anak-anak yang tumbuh dengan sikap toleransi akan menjadi generasi yang lebih siap untuk menghadapi tantangan global yang semakin kompleks dan penuh perbedaan.

Belajar toleransi sejak dini sangat penting untuk membentuk karakter anak yang baik dan membekali mereka dengan keterampilan sosial yang akan berguna sepanjang hidup mereka. Melalui pendidikan yang baik dan pembiasaan sikap toleransi dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak akan tumbuh menjadi individu yang mampu beradaptasi dengan lingkungan yang beragam dan menyelesaikan masalah dengan cara yang damai. Toleransi bukan hanya nilai yang diterapkan di sekolah atau rumah, tetapi harus menjadi bagian dari cara hidup yang diwariskan kepada generasi mendatang.

Selasa, 03 Desember 2024

Urgensi Bermain bagi Anak Usia Dini

Anak usia dini sedang bermain: ilustrasi foto: mmc.kalteng.go.id



 Bermain adalah aktivitas yang sangat penting bagi anak-anak, terutama pada usia dini. Menurut banyak ahli perkembangan, bermain tidak hanya berfungsi sebagai kegiatan yang menyenangkan, tetapi juga memiliki peran sentral dalam perkembangan anak. Meskipun demikian, penting untuk membedakan antara urgensi bermain dan manfaat bermain. Urgensi bermain mengacu pada kebutuhan anak untuk bermain sebagai bagian dari proses perkembangan alami, sedangkan manfaat bermain merujuk pada keuntungan yang diperoleh anak dari aktivitas bermain itu sendiri. Memahami perbedaan ini sangat penting untuk orang tua, pendidik, dan pihak-pihak terkait lainnya dalam merancang aktivitas yang mendukung perkembangan anak usia dini.

Urgensi bermain mengacu pada kebutuhan mendasar anak untuk terlibat dalam aktivitas bermain demi mendukung proses tumbuh kembang yang optimal. Bermain bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga bagian tak terpisahkan dari perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional anak. Beberapa alasan mengapa bermain begitu penting bagi anak-anak antara lain:

  • .      Kebutuhan Alami Anak

Bermain adalah kebutuhan alami yang tidak dapat digantikan dengan aktivitas lain. Sejak bayi, anak-anak sudah mulai bermain melalui gerakan tubuh dan ekspresi wajah mereka. Menurut *Pellegrini dan Smith (1998)*, bermain adalah kegiatan yang sangat berhubungan dengan perkembangan otak dan kemampuan fisik anak.

  •        Proses Tumbuh Kembang yang Optimal

Bermain memungkinkan anak untuk mengeksplorasi dunia mereka, berinteraksi dengan orang lain, dan memahami lingkungan sekitarnya. Tanpa bermain, anak bisa kehilangan kesempatan penting untuk belajar dan berkembang dengan cara yang sesuai dengan usianya (*Berk, 2009*)

  •        Kegiatan yang Tidak Bisa Diabaikan

Bermain merupakan bagian integral dari kurikulum pendidikan anak usia dini. Menurut *Gray (2013)*, mengabaikan aktivitas bermain dalam kehidupan anak akan berdampak negatif pada perkembangan sosial, emosional, dan fisik mereka. Anak-anak yang tidak memiliki kesempatan untuk bermain bisa mengalami keterlambatan perkembangan yang signifikan.

Dengan adanya urgensi bermain tersebut dapat kita simpulkan bahwa bermain merupakan sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi pada setiap anak. Maka dari itu mari kita sebagai orang tua mendukung kegiatan bermain anak dengan memberikan kesempatan, fasilitas, motivasi, dan pendampingan.

Senin, 25 November 2024

Teori Bermain Kontemporer

 


Implementasi bermain bersama pada anak usia dini. Ilustrasi foto: https://www.cussonskids.co.id/

  •  Teori Psikoanalisis (Sigmund Freud)

   Freud berpendapat bahwa bermain adalah mekanisme anak untuk mengatasi konflik emosional dan kecemasan. Bermain memungkinkan anak untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran bawah sadar secara simbolis.

  • .      Teori Kognitif (Jean Piaget)

  Piaget menyoroti peran bermain dalam perkembangan kognitif. Ia membagi bermain menjadi tiga tahap: bermain sensorimotor, bermain simbolik, dan bermain dengan aturan. Bermain dianggap sebagai sarana eksplorasi dan konstruksi pengetahuan.

  • .      Teori Kognitif Sosial (Lev Vygotsky)

Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dalam bermain. Bermain, terutama bermain peran, membantu anak mengembangkan kemampuan bahasa, berpikir logis, dan pengaturan diri. Konsep zona perkembangan proksimal (ZPD) juga relevan dalam konteks bermain.

  • .      Teori Kognitif (Jerome Bruner)*

Bruner menganggap bermain sebagai sarana pembelajaran yang mendukung anak untuk mengembangkan kreativitas dan memecahkan masalah. Bermain juga memungkinkan anak untuk mencoba berbagai skenario tanpa risiko nyata.

  • .      Teori Singer dan Bateson*

Singer mengemukakan bahwa bermain memiliki dimensi imajinatif yang mendukung perkembangan emosi dan kreativitas anak. Bateson menambahkan bahwa bermain adalah bentuk komunikasi yang membantu anak memahami makna simbolik.

  • Perspektif Islam (Imam Ghazali)*

Imam Ghazali menekankan bahwa bermain adalah bagian penting dari pendidikan anak, khususnya pada tujuh tahun pertama kehidupan. Bermain harus diarahkan untuk mendukung perkembangan moral dan spiritual anak. Ia juga menggarisbawahi pentingnya moderasi antara bermain dan beragama

  • Teori Pembagian Tiga Jenjang Pendidikan

Dalam perspektif Islam, pembagian pendidikan anak berdasarkan fase tujuh tahun pertama (fase bermain), tujuh tahun kedua (fase pembelajaran serius), dan tujuh tahun ketiga (fase tanggung jawab) memberikan pandangan yang sistematis tentang peran bermain. Pada tujuh tahun pertama, bermain dianggap sebagai medium pembelajaran utama.


Teori Bermain Klasik

 

Anak bermain bersama. Ilustrasi foto:  Antaranews.com

Bermain merupakan aktivitas universal yang memiliki peran penting dalam perkembangan individu, baik secara fisik, kognitif, sosial, maupun emosional. Dalam kajian teori, bermain telah dibahas dalam berbagai perspektif, baik klasik maupun kontemporer. Artikel ini mengulas teori bermain dari kedua perspektif tersebut, termasuk teori dari pandangan Islam yang menyoroti peran bermain dalam pendidikan.

  1. Teori Surplus Energi

Teori ini dikemukakan oleh Friedrich Schiller dan Herbert Spencer. Bermain dianggap sebagai cara untuk melepaskan energi berlebih yang tidak terpakai dalam aktivitas sehari-hari. Energi yang tersisa digunakan anak untuk kegiatan bermain yang bersifat spontan dan tidak berorientasi pada tujuan tertentu.

2.      Teori Rekreasi

Dikemukakan oleh Moritz Lazarus, teori ini berargumen bahwa bermain adalah sarana untuk mengembalikan energi yang telah terkuras dalam aktivitas sehari-hari. Bermain dianggap sebagai bentuk relaksasi dan pemulihan.

3.      Teori Rekapitulasi

G. Stanley Hall mengembangkan teori ini, yang menyatakan bahwa bermain adalah pengulangan perilaku nenek moyang manusia. Aktivitas bermain mencerminkan tahapan evolusi manusia yang telah dilalui.

4.      Teori Sublimasi

Menurut Sigmund Freud, bermain adalah cara bagi anak untuk menyalurkan dorongan atau keinginan yang tidak dapat mereka wujudkan secara langsung. Bermain menjadi mekanisme sublimasi dari keinginan bawah sadar.

5.      Teori Reinkarnasi 

   Teori ini memandang bermain sebagai cara individu untuk menghidupkan kembali pengalaman hidup yang sebelumnya atau dari kehidupan lampau, meskipun teori ini lebih bersifat filosofis daripada ilmiah.

6.      Teori Praktis

Teori ini berfokus pada aspek utilitarian bermain, di mana bermain dianggap sebagai latihan untuk mempersiapkan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan dewasa.

 


Minggu, 17 November 2024

Penanaman Anti Bullying Sejak Anak Usia Dini

 

Gambaran anak mendapatkan bullying. Ilustrasi foto: http://yd.blog.um.ac.id/

      Bullying adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan sengaja secara agresif untuk melukai seseorang. Tindakan ini bisa dilakukan sendiri dalam dan bisa dilakukan dengan kelompok. Kegiatan bullying ini memiliki dampak yang buruk bagi korban maupun bagi pelaku. Bagi para korban dapat menyebabkan trauma, rendah diri, dan bisa membuat korban jadi pendendam. Bahkan lebih buruknya korban dapat menjadi pelaku di kemudian hari. Sedangkan bagi pelaku dampak negatifnya akan membuat pelaku terus melakukan hal negatif dan membuat orang lain tertekan. Perilaku bullying ini juga dapat merugikan negara karena mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. 
          Perilaku bullying ini perlu dihentikan sejak anak usia dini. Sebisa mungkin orang tua menjauhkan anak dari bullying. Pencegahan bulliying ini bertujuan untuk membentuk moral dan karakter bagi anak. Karena anak yang berkarakter akan menguatkan bangsa dan negara. Orang tua dapat melakukan beberapa hal untuk pencegahan bullying, seperti membangun karakter, penanaman nilai moral, menanamkan rasa empati dan simpati pada anak. Selain itu orang tua diharapkan tidak membuat anak menjadi minnder, tidak menjatuhkan anak, dan tidak membandingkan anak.
           Namun, bagaimana jika anak terlanjur menjadi korban bullying? Apakah anak harus meratapi nasib dan merenung? Tidak! Anak ataupun siapapun yang pernah jadi korban bullying tetap memiliki kesempatan untuk bangkit dan membela dirinya. Yang perlu dilakukan orang tua saat anak menjadi korban adalah menyiapkan mental anak untuk tidak menjadi korban lagi di lain kesempatan, jika ada yang akan melakukan bullying lagi maka dilawan, lalu sembuhkan diri anak agar luka yang tergores dalam batinnya terobati.